SURAT TERBUKA UNTUK KAPOLRI TITO KARNAVIAN
Oleh: Oce Satria (jurnalis, blogger)
Assalamualaikum warahmatullahi wa barakatuh.
Apa kabar Pak Drs H Muhammad Tito Karnavian, MA PhD.
Saya doakan selalu sehat, profesional, modern, dan terpercaya.
Saya sudah lama tidak ke kantor pos, maka surat ini saya pos(ting)kan di sini saja. Terbuka saja, karena tak ada kalimat-kalimat rahasia yang hendak saya tuliskan.
O, ya. Perkenalkan, nama saya sesuai nama akun fb saya ini. Putra seorang pensiunan polisi, Sersan Mayor Taroesman Koto. Seorang polisi yang sampai akhir dinasnya di Reskrim Polsek Limo Kaum, Batusangkar selalu menggenjot sepeda dinasnya ke kantor. Sepeda di mana saya didudukkan di setang, dan mengantar saya ke TK Bhayangkari, persis di bawah Mapolres Tanahdatar, sebelum ia berbelok ke Limo Kaum.
Saya bangga sebagai anak polisi. Kebanggaan itu karena sampai bapak saya pensiun, ia tetap seorang saptamargais sejati, anti korupsi. Ia juga tak terlalu berbakat berbisnis dan hanya hidup dari gaji (itu makanya bapak baru bisa bangun rumah setelah sekian tahun pensiun). Dan sekali lagi saya bangga, karena di mata saya polisi adalah hero bagi rakyat. Makanya waktu pawai alegoris 17 Agustus 1978, saya dipakaikan pakaian jenderal polisi cilik. Keren.
Sayang, di usia saya dewasa dan menjadi jurnalis, profil polisi ideal yang saya simpan di benak saya luntur, terus menerus. Berita di mana-mana yang mengabarkan kelakuan buruk oknum polisi hingga tindakan mengecewakan institusi Polri.
Apa boleh buat, saya tak bisa mendebat kawan bila kami bicara tentang polisi dan Polri. Makian dan umpatan yang terdengar.
Mungkin harapan itu kembali bersemi tatkala bapak mengusung semangat baru membangun institusi Tribrata ini. Semangat dengan tagline keren: PROMOTER. Profesional, modern, dan terpercaya.
Tagline yang sebenarnya sangat sederhana dan saya yakin amat mudah mengaplikasikannya di lapangan kepada semua personil Polri.
Tapi apa lacur, kenyataannya, terlebih hari-hari belakangan, tagline itu hanya seperti kata-kata tak bermakna. Ia hanya keren karena dipajang di standing banner-standing banner, poster, stiker, atau advertorial di suratkabar.
Setelah apa yang dilertontonkan aparat bapak belakangan ini, motto Promoter itu hanya serupa utopia belaka. Bak kata orang Padangpanjang, "Ndak babaun tunjuak den" yang artinya, nonsense saja semua yang disosialisasikan lewat tagline dan motto tersebut.
Apakah menghajar mahasiswa tak bersenjata dan ketakutan itu PROFESIONAL? Apakah membawa pentungan di era 4.0 ini MODERN? Apakah kasus tweet soal ambulan yang dihapus itu TERPERCAYA?
Lihatlah, bagaimana personil Polri yang diperintahkan mengamankan demo mahasiswa justru bertindak brutal dan sadis seperti yang terlihat di video2 warga yang bersileweran di media sosial. Menghajar, memukul, menendang serupa tawuran anak STM zaman dulu. Tak terlihat wajah-wajah pengayom.
Lalu, admin akun resmi institusi Polri semisal @TMCPoldaMetro dalam kasus tweet "ambulans bawa batu dan bensin untuk molotov" itu. Miris.
Belum selesai, kemarin jurnalis Dandy Laksono dijemput tengah malam di rumahnya. Sebelumnya Pemred IDNTimes mengeluhkan perlakuan aparat bapak terhadap reporternya yang meliput. Memalukan! Pease, hentikanlah cara2 tak elok itu. Kasihan mahasiswa, kasihan reporter yang gajinya tak seberapa itu.
Saya nukilkan, bukankah etika profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila? Ia juga mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral.
Lalu, juga tersebut etika kemasyarakatan yang membimbing semua personil Polri punya sikap moral yang memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Polisi tak sekadar menegakkan hukum tapi melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat dengan mengindahkan kearifan lokal dalam budaya Indonesia. Bukankah begitu?
Apatah lagi kalau kita sigi lagi Kode Etik Profesi Polri (KEPP), bahwa setiap anggota Polri WAJIB menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia. Apa lagi yang kurang dari semua itu untuk mengilhami prosedur opersional standar?
Sering kali kami dengar dalih dan apologia petinggi Polri bahwa institusi tidak menghendaki dan memerintahkan cara-cara yang cacat moral dan norma dalam menjalankan tugas seperti mengawal demonstrasi. Tapi kenyataan yang tersaji bertolak belakang dengan idealisme yang kami dengar. Maka, jangan salahkan bila rakyat curiga, bahwa kelakuan2 buruk oknum yang dipertontonkan hari-hari belakangan adalah atas persetujuan atasan mereka? Begitu kami menduga-duga.
Dan kalau boleh saya menduga lagi, legitimasi rezim yang sedang berkuasa pada akhirnya tidak saja diruntuhkan oleh pejabat2 korup, tapi boleh jadi disumbang oleh perilaku negatif aparat dalam bertugas.
Sudah saatnya Anda melakukan evaluasi total pelaksanaan program Promoter yang Anda gadang-gadang itu. Tapi apakah itu akan berhasil, saya agak pesimis bila sikap pejabat tertinggi Polri tak genuin berada pada titik netralitas yang sebenar-benarnya. Titik di mana Polri betul-betul dirasakan rakyat sebagai milik dan hero mereka.
Saya menulis surat ini lantaran kini mulai dilanda kecemasan setiap kali hendak berstatus ria di FB atau ngetuit di Twitter. Jangan-jangan.... Jangan-jangan...
Oke, Pak, karena mau jumatan, saya sudahi saja sampai di sini surat ini. Terlebih terkurang mohon dipersorry, mudah2an tak ada celah delik dalam kalimat2 yang saya ketik dengan dua jempol ini.
Salam Komando..!
Wassalam
*Pekanbaru 27 September 2019
Note: Foto ini adalah foto humanis Kapolres Padangpanjang yang menyentuh hati dan viral kemarin. Kapolres yang dicintai warga.
Post Navi
0 Komentar