Business

Kisah KH Ahmad Dahlan Makan di Piring Kosong



Enimanews--KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, pernah kedataangan tamu dari jauh. Sang tamu, sebut saja Pak Suaib, asal Cirebon, sangat tertarik dengan ajaran Kyai Dahlan.
Kalimat “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah” sangat menarik hati Pak Suaib. “Inilah cara berjuang yang benar untuk menegakkan Islam,” batin Pak Suaib takjub dengan moto Muhammadiyah tersebut.
Ajaran inilah yang membuat Muhammadiyah cepat besar di mana-mana, di seluruh Indonesia. Kader-kader Muhammadiyah, meski bukan orang kaya, mampu mendirikan sekolah-sekolah berkualitas prima, mulai SD, SMP, SMA, STM, Aliyah sampai Perguruan Tinggi. Begitu pula rumah sakit Muhammadiyah. Tumbuh menjadi rumah sakit besar, lengkap, dan berkualitas. Semua ini berkat mantra “Hidup-hidupilah Muhammadiyah. Jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Pak Suaib ingin mengenal inisiator mantra sakti tadi. Seberapa hebat sih ulama bernama KH Ahmad Dahlan atau biasa disapa Kyai Dahlan itu? Apakah dia orang kaya?
Pak Suaib pergi ke Yogya, naik kereta api dari Stasiun Graksan, Cirebon. Turun di stasiun Yogya, Pak Suaib langsung naik andong ke Kauman. Sampai Kauman, hari sudah mulai petang. Menjelang Maghrib.
“Assalamualaikum Warakhmatullahi Wabarakatuh.” Pak Suaib mengucapkan salam di depan pintu rumah Kyai Dahlan.
“Waalaikum Salam Warakhmatullahi Wabarakaatuh,” jawab Kyai Dahlan dari dalam rumah. Kyai Dahlan saat itu sudah siap-siap mau ke masjid Kauman.
Sang tamu pun diajak duduk. Pak Suaib memperkenalkan diri dan menjelaskan kedatangannya ke Yogya. Ia ingin silaturahmi kepada Kyai Dahlan dan minta nasihat agama.
Azan Magrib dengan suara indah, mengalun dari Masjid Kauman. Kyai Dahlan pun mengajak tamunya untuk salat Magrib.
Sebelum berangkat ke masjid, Kyai Dahlan menemui istrinya, Nyai Walidah untuk menyediakan makanan.
“Kang Mas, nasinya tinggal satu piring. Lauknya pun hanya tahu dan tempe.”
“Ya sudah, siapkan saja untuk tamu.”
“Nanti Kang Mas makan apa?”
“Tak usah makan. Tapi Nyai sediakan piring kosong, sendok, dan air segelas di meja yang bersebrangan dengan tamu. Saya nanti pura-pura makan. Tolong lampunya matikan agar tamu tak melihat piring kosong.”
Usai salat Maghrib dan Isya, Kyai Dahlan langsung mengajak tamunya pulang.
“Kita makan dulu ya. Pak Suaib datang dari jauh, mungkin belum makan.”
Pak Suaib yang memang sudah lapar, mengangguk. Ia tersenyum. “Terimakasih Kyai atas ajakan makannya.”
Sampai di rumah, ternyata suasananya gelap. Ruang makan dan ruang tamu pun gulita.
“Pak Suaib, maaf ya, tadi baru saja lampunya mati. Minyaknya habis. Saya sedang minta bantuan tetangga untuk membelikan minyak tanah ke warung sebelah. Kita makan saja, nanti kelaparan. Saya juga sudah lapar,” jelas Kyai.
Kyai Dahlan pun menuntun tamunya untuk duduk di meja makan yang sudah tersedia nasi, lauk, dan air minum. Sedangkan Kyai duduk di seberang meja, berhadapan dengan tamu, dengan piring kosong dan segelas air putih.
“Monggo Pak Suaib. Silahkan dinikmati makanannya. Maaf makanannya sederhana.”
“Terimakasih Kyai,” kata sang tamu.
“Enak sekali masakannya,” tambah Pak Suaib untuk menyenangkan tuan rumah. Ia tampak makan dengan lahap. Mungkin lapar karena habis menempuh perjalanan jauh.
Kyai Dahlan pun ikut “makan” menemai tamu di piring kosong. Sendoknya sengaja diadu dengan piring – klotak-klotak — seakan sedang menyendok makanan. Kyai Dahlan juga minum air dan menaruh gelasnya agak keras di meja. Pak Suaib makan dengan senang hati karena ditemani orang yang dikaguminya.
Usai makan, piring segera dibawa Nyai Walidah ke belakang. Setelah itu, Kyai Dahlan mengajak Pak Suaib duduk di ruang tamu. Tak lama kemudian, lampu pun dinyalakan lagi.
Pak Suaib puas. Menikmati makananan yang disediakan Nyai Dahlan. Kyai Dahlan pun senang, bisa menghormati tamunya.
Itulah akhlak Kyai Ahmad Dahlan. Sangat menghormati tamunya seperti dicontohkan Rasulullah. (Oce Satria)


Sumber:

Post Navi

0 Komentar