Prabowo, Jokowi, dan Mereka yang Menikmati Rasa Sakit
Oleh: Oce Satria -jurnalis & blogger
PRABOWO dan Jokowi telah sepiring berdua. "Musuh bebuyutan" itu sudah bersepakat "rujuk" dan membina "rumah tangga" demi keluarga besar dan masa depan anak-anak. Klise atau sesunguhnya, hanya mereka berdua yang tahu.
Ada yang senang, ada yang uring-uringan, klojotan dan meraung-raung menerima kenyataan pahit ini. Di kedua belah pihak, para pendukung militan, maupun pendukung santuy. Why? Susah menerima kenyataan ini. Bahwa semangat spartan yang dibangun dari nol untuk bertempur memenangkan pertandingan, akhirnya dihempaskan ending yang yang tak masuk akal: Prabowo disumpah Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Kemana hilangnya Macan Asia yang dulu? Apakah macan sudah bersalin rupa menjadi kucing anggora? Pertanyaan tak habis pikir itu menganggu alam pikiran para pendukung militan Prabowo. Mereka merasa tersakiti.
Di sebelahnya, Relawan Jokowi dan fansnya setali tiga uang: Kehadiran Prabowo di kabinet Jokowi telah merusak bangunan kebencian pada Prabowo dan pendukungnya, yang dipupuk begitu lama. Stigma fasis, otoriter, pembengis, radikalis, dan sisa Orba untuk Prabowo telah akut bersarang di kepala mereka. Sulit memahami mengapa kini bisa satu tim dengan Jokowi. Mereka merasa tersakiti.
Kedua-duanya lalu mempertanyakan, kalau akhirnya bersatu di kabinet, ngapain ada pemilu? Sebuah protes yang naif. Banyak orang menganggap pemilu untuk menentukan siapa yang menang dan siapa yang kalah, siapa yang bakal duduk di istana, siapa yang akan jadi penentang di parlemen. Padahal pemilu hanyalah rukun demokrasi saja. Perkara di kemudian hari berkoalisi, itu sesuatu yang tak aneh.
Bagi sebagian orang, persaingan harus diteruskan, sebab kalau tidak, sia-sia saja "pengorbanan" selama ini. Musuh tetap musuh. Harus ada demarkasi yg jelas dan tegas bagi keduanya. Tak boleh ada zona abu-abu.
Sekali Anda melintasi garis demarkasi, Anda akan dicap pengkhianat. Atau dalam bahasa era pilpres kita: Kampret jadi Cebong, Cebong bersalin rupa jadi Kampret.
Menikmati Sakit
Saya tertarik mengupas ini, dan mencoba mencari referensi tentang kondisi orang yang tersakiti. Bahwa dalam kehidupan sehari-hari sebagian orang memang punya kencenderungan sifat ingin terus berada dalam kesakitan (psikis dan fisik). Mereka menikmati sakit.
Atau gejala orang yang selalu senang dan menikmati kondisi yang menegangkan, senang memelihara situasi buruk, dan kalau bisa selamanya tetap bertempur.
Anda pernah merasakan kondisi itu? Misalnya, ketika diputus oleh pacar, atau bercerai. Anda tak mau baikan, balikan, atau rujuk. Anda menikmati disakiti, menikmati situasi di mana mantan Anda terus menerus berbuat yang menyakitkan hati. Semakin sakit hati Anda semakin Anda mendapatkan gairah untuk terus berkelahi. Ada?
Seperti penah ditulis di majalah Intisari, bahwa bagi sebagian orang, rasa sakit yang terus menerus cukup menyenangkan. Mereka bahkan cenderung menikmatinya.
Lihatlah orang yang berada di gym, yang sedang bergulat untuk membentuk badannya semenarik mungkin—sembari menahan (atau menikmatinya?) rasa sakit yang mendera dirinya.
Ada apa dengan itu? Kenapa mereka begitu menikmatinya?
Fisiolog dan ahli olahraga Dr. Ian Gillam mengatakan, dalam olahraga yg terus menerus dan cederung keras, endorfin sedang diputar dan memicu banyak perilaku obsesif pada diri seseorang.
Endorfin adalah senyawa kimia alami yang menciptakan “rasa nyaman” dan dalam dosis yang besar disebut lebih kuat dibanding morfin.
Senyawa ini disebut bisa meringankan rasa sakit dan menimbulkan perasaan senang atau euforia pada individu, terutama saat mereka menguji daya tahan dalam olahraga yang rutin.
Pelepasan endorfin, menurut Pak Gillam, biasanya terjadi pada olahraga yang lebih lama (durasinya). Lebih dari 45 menit latihan intens memicu pelepasan endorfin yg signifikan.
Tak hanya dalam olahraga, sebagian orang juga menikmati kesakitan atau rasa sakit dalam soal seks.
Tahu kan? Aktivitas seksual dan perilaku intim bisa merangsang berbagai perasaan dalam indra kita. Kekadang, kata pakar seks, orang menyukai rasa sakit dalam bercinta.Kenapa kita menyukai rasa sakit?
Menurut para ahli di industri seks, sudah rahasia umum bahwa ada orang yang mencari kesenangan dengan tindakan erotisme yang menyakitkan.
Pernah dengar istilah masokis?Yak, kelainan seksual di mana seorang akan merasa puas atau gairahnya memuncak jika disakiti atau menyakiti
Menurut psikolog Georgia Ray, setidaknya ada empat alasan kenapa orang suka menyakiti dirinya untuk mencapai kenikmatan—termasuk dalam seks.
“Untuk mengurangi emosi negatif, merasakan sesuatu selain mati rasa, untuk menghindari kondisi sosial tertentu, dan untuk mencari perhatian,” seperti dikutip dari New York Post.
Orang yang suka menyakiti diri sendiri, lanjut Ray, karena setelah mengalami rasa sakit, mereka akan menemukan euforia yang intens, yang tidak ia temukan dengan cara lain.
Tapi itu gejala dalam kehidupan seksualitas. Mudah-mudahan dalam perkara politik ini bukan seperti itu.
Pertanyaanya, apakah Anda bagian orang yang menikmati rasa sakit itu? (oce)
*Pekanbaru 24 Oktober 2019
Post Navi