Business

Nasi Uduk di Tangga Masjid



Oleh All Amin


Di Masjid kami. Acara ngemil dan makan barengnya banyak. Hampir setiap hari. Takjil Senin Kamis. Nasi malam Jumat. Nasi berkah bakda Jumat. Camilan Sabtu pagi. Dan, akbarnya: Ahad pagi. Sarapan bersama bakda kajian Subuh.

Menu favoritnya nasi uduk Betawi. Made in Pak Ahmad. Nasi uduknya enak. Komplit dengan semur jengkol dan sambal jeruk limo. Sebagai penyuka kuliner, masakan Pak Ahmad saya beri ponten sembilan. Mumtaz.

Tempat duduk saya di tangga Masjid. Setidaknya, saya punya dua alasan mengapa selalu duduk di situ. Pertama; duduk di tangga lebih nyaman untuk pria berperut six month seperti saya. Bisa selonjoran tanpa khawatir perutnya kelipet. Kedua; viewnya bagus. Street view. Dari situ tampak jelas; jalan tol, dan rel LRT yang belum beroperasi.

Beberapa waktu belakangan, ada tambahan pandangan baru. Lebih dekat jaraknya dari tangga tempat saya duduk. Tampak crane, alat-alat berat untuk paku bumi, dan truk-truk besar yang lalu lalang. Di dekat Masjid itu ada proyek baru. Proyek mulut terowongan untuk kereta cepat. Namanya: KCIC. Kereta Cepat Indonesia Cina.

Penamaan proyek ini agak berbeda. Dari kelaziman penamaan. Dulu H.W. Daendels, Gubernur Hindia Belanda, tahun 1808-1811. Membangun jalan menyisir pantai utara Pulau Jawa. Namanya terkenal sekali: Jalur Anyer Panarukan. Dinamakan demikian karena jalan itu dibuat mulai dari Anyer, Banten sampai ke Panarukan, Situbondo, Jawa Timur. 

Di sebelah proyek KCIC itu ada jalan tol Jakarta-Cikampek. Maksudnya; jalan tol itu menghubungkan antara Jakarta dan daerah Cikampek. 

Ini namanya KCIC. Sedangkan jalur keretanya dari Jakarta ke Bandung. 

Apa nama itu diambil dari mayoritas pekerjanya, ya? Karena sekarang setiap pagi dan sore, banyak tampak pekerja Cina di dekat Masjid kami. Jalan kaki bolak balik dari mess mereka yang cukup besar ke proyek. Apa mungkin karena itu? Tapi, ah sudahlah. Untuk ini, saya mau sepakat saja dengan William Shakespeare, "Apalah arti sebuah nama." Toh, itu juga tidak penting.

Nah, ada beberapa hal yang jauh lebih penting buat saya. Pun bagi beberapa tetangga saya. Hal yang sering menjadi bahan diskusi kami. Bahan keluhan kami lebih tepatnya. 

Proyek itu sudah berjalan dua musim. 

Dulu mulai dikerjakan saat musim panas. Saya ingat. Karena rumah kami mendapat imbas debu. Tidak berlebihan kalau saya bilang; debunya sangat tebal. Memang tidak setebal debu erupsi Merapi. Atau debu kabut asap akibat kebakaran hutan di Riau. Tapi, cukup membuat bagian luar rumah mesti dipel dua kali sehari. Mudah-mudahan bulu hidung kuat menfilter debu yang kami hirup dalam waktu yang cukup lama itu. Hingga tidak berdampak buruk untuk kesehatan.

Lalu, ketika mereka mulai memadatkan tanah. Di rumah saya--pun kata tetangga juga; piring-piringnya bergetar. Getarannya tentu bukan seperti getaran hati abege yang belajar jatuh cinta. Getaran dari alat-alat yang mereka gunakan.

Nah, klimaksnya tahun baru kemarin. Satu Januari subuh. Rumah saya dimasuki air bah. Ke dalam rumah hampir setinggi meja makan. 
Di luar rumah se-dada. Lumayan. Belasan mobil terendam. Semuanya rusak berat. Tahun baru yang menyesakkan dada.

Baru pertama kali, banjir separah itu di cluster kami. Sampai tetangga di depan rumah berujar, "Sudah 20 tahun saya tinggal di sini. Baru sekarang kebanjiran." 

Sulit untuk tidak mengaitkan banjir kemarin itu dengan keberadaan proyek KCIC. Siapa pun yang melihat, akan menyimpulkan demikian. Kecuali, yang berkepentingan dengan keberadaan proyek itu. Tentu bisa banyak berdalih. Tak perlu IQ tinggi untuk mampu membaca situasinya. 

Pun demikian komentar Ncing Haji. Tukang parkir di pasar dekat rumah. Yang sebagian tanahnya dibayarin oleh KCIC. "Kebanjiran saya kemarin. Sepinggang di dalam pasar. Gara-gara proyek tuh. Saluran air tersumbat. Jadinya air ketahan di sono." Ujarnya dengan logat Betawi.

Sekarang kalau duduk di tangga Masjid. Makan nasi uduk. Dan, melihat ke arah proyek itu. Saya ngedumel. Tapi, dalam hati saja. Mau bicara pun, sepertinya tak efektif. Mubazir. 

Tulisan ini pun saya buat diam-diam. Semoga tak banyak yang membaca. Di negeri plus enam dua ini, kalau cuma cengceremen yang bersuara; tak akan digubris.

Khawatir, nanti saya dianggap tidak memiliki jiwa nasionalisme. Karena proyek itu kan ada kata: Indonesia-nya. Masa demi nama negara tidak mau berkorban. Baru banjir segitu sudah ngomel-ngomel.

Saya mau berpikir positif sajalah. Banjir setinggi meja makan itu, guna membersihkan barang-barang. Separo dari barang yang terendam, dipensiunkan. 

Pascabanjir, rumah jadi lebih tenang. Sunyi dari bunyi-bunyian. Home theater wasalam. Ratusan koleksi DVD berpindah ke tempat sampah. Tv tak lagi ada gambar. Tak lagi keluar nada-nada dari tuts piano. Sesekali, tengah malam terdengar bunyi lemari rubuh. Yang tak kuat berdiri, karena bagian bawahnya sudah melar. Kalau meminjam istilah Pak Ahmad--Imam Masjid kami, yang pandai membuat nasi uduk itu; "Furniturnya sudah seperti biskuit yang direndam air." 

Pun begitu di rumah-rumah sebelah menyebelah. Tak jauh berbeda kedaannya. 

Semoga kereta cepat itu cepat selesai. Juga semoga tidak ada orang KCIC yang membaca tulisan ini. Agar anggapan mereka tentang proyek itu semua baik-baik saja, tak ternodai. Mereka tak perlu mendengar keluhan. Umpatan. Sumpah serapah. Dari kami yang menjadi korban. (*)


All Amin


Post Navi

0 Komentar