Business

Hati Bertautan, tanpa Berjabat Tangan



Oleh: All Amin

Virus Corona, Covid-19 menyebar sangat cepat. Menulari siapa pun. Tak pandang bulu. Masyarakat biasa, para pesohor, pun pejabat negara. Semua bisa terkena.

Baru beberapa bulan lalu penyakit itu muncul di kota Wuhan, Tiongkok. Siapa menyana, dalam waktu singkat. Sudah sampai di negara kita. Di kota kita. Bahkan, bisa jadi sudah menulari orang-orang di sekitar kita. 

WHO telah mengumumkan Corona sebagai pandemi global. Wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas. Virus itu sudah memakan banyak korban. Dan secara teori, masih besar kemungkinan Covid-19 akan terus menyebar.

Sebagai Muslim, sikap awal kita tentu menerima ini sebagai ketentuan Allah Swt. Takdir yang harus diimani dengan sikap positif. Dijadikan bahan renungan untuk mengevaluasi diri. Barangkali kita perlu juga dibuat cemas, agar bisa segera mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Namun, kita juga perlu terlibat aktif dalam upaya-upaya pencegahan penularan virus Covid-19 ini. Sebagai ikhtiar lahiriah. Harus ada upaya sungguh-sungguh menjaga diri sendiri. Menjaga lingkungan sekitar. Dan ikut menjaga orang banyak. Wabah ini tak boleh dianggap enteng.

Informasi tentang apa saja upaya-upaya itu, masif didapatkan dari media massa.

Ada satu hal yang saya cermati. Yaitu himbauan; social distancing measure. Menjaga jarak sosial. Saya sepakat; himbauan itu sebaiknya dipatuhi. Himbauan yang sangat ilmiah.

Di awal mungkin agak kikuk menerapkannya. Karena budaya kita orang timur, biasa beramah-tamah. Bersalaman setiap kali bersua kawan dan kolega. Cipika cipiki. Bahkan saling berangkulan. Sebagai tanda keakraban. 

Di pesantren santri biasa mencium tangan Kiai-nya. Di sekolah-sekolah murid-murid biasa menempelkan jidatnya ke tangan guru. Di arisan keluarga. Di lingkungan kantor. Di kedai-kedai kopi, dsb. Bisa jadi banyak kebiasaan yang lebih seru.

Nah, sekarang kita dihadapkan pada sebuah situasi pelik; semua kebiasaan itu, semua interaksi itu, agar dihentikan sementara. Atas nama, bagian dari upaya pencegahan penularan wabah.

Tentu tak baik sinis dengan himbauan ini. Ikut-ikut mencemeehkan. 

Penganalogiannya sederhana. Bak anjuran: berhenti dulu makan sambal. Karena Anda sedang diare.

Ingat beberapa bulan yang lalu. Ketika virus ini baru muncul di Cina. Banyak sekali meme-meme satire di media sosial tentang Corona. Lalu kita saksikan, sekejab ia sudah tiba di dekat kita. Menulari banyak orang dalam senyap.

Tak ada yang kebal Covid-19. Virus itu tak pula kasat mata. Sulit dibedakan mana yang sehat mana yang sudah terpapar. Kita semua mesti waspada. Mesti serius berjaga-jaga. Dalam kaidah fikih, Islam mengajarkan; mencegah kemudaratan, lebih diutamakan dari pada mengambil kemaslahatan.

Ada baiknya juga berpikir; seolah-olah sudah kena. Dan tidak ingin menularkannya pada orang lain. Barangkali itu bisa menguatkan untuk mengambil sikap menjaga jarak.

Memang tidak mudah mengubah kebiasaan. Sulit menyembunyikan kekikukan.

Demi saling menjaga. Dengan sorot mata bersahabat, dalam canggung itu bergumam, "Mohon maaf kawan. Hati kita tetap bertautan. Namun, kita rehat dulu berjabatan tangan. Itu lebih baik daripada kita saling menularkan."

Barakallahu fiikum.

Wasalam, All Amin




Post Navi

0 Komentar