Serial Kontroversial: Kartini "Bikinan" Belanda (2)
Serial esai tentang RA Kartini ditulis oleh kolomnis tetap laman newsroom Yahoo! Indonesia. Kemudian diposting ulang di kurangpiknik.tumblr.com dengan judul Serial Kontroversial Kartini. EnimaNews kebali menghadirkan untuk Anda dalam empat seri. Selamat membaca.
SEBAGAI narasi, Kartini memang dibikin oleh orang-orang Belanda. Dan inilah salah satu soal (atau “sial”?) utama yang merongrong narasi Kartini. Masalahnya: apa bisa kita kenal Kartini jika Belanda tak membuatkan narasi tentangnya?
Kartini sudah dikenal oleh banyak orang Belanda sebelum ajal menjemputnya pada 17 September 1904. Pembicaraan tentangnya sudah muncul sejak dia mulai menulis di beberapa surat kabar – tentu saja dalam Bahasa Belanda.
Ketika dia meninggal, beberapa surat kabar sudah memberitakannya. Biar bagaimana pun, Kartini sudah menjadi figur, setidaknya dia adalah istri seorang bupati – istri utama Raden Djojoadiningrat, tapi bukan istri yang pertama. Tapi berita-berita kematian Kartini itu belum menunjukkan gelagat Kartini akan menjadi sebuah narasi yang menonjol. Beberapa surat kabar yang memberitakan kematiannya hanya menulis ala kadarnya.
Saya ambil contoh berita di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad dan Het Niuews van den Dag voor Nederlandsch-Indie. Pada hari yang sama, 31 Desember 1904, dua surat kabar itu menurunkan list orang-orang yang meninggal di tahun 1904. Di situ Kartini disebut dengan nama “Raden Ajoe Djojo Adiningrat Kartini, echgenoote van den Regent van Rembang”.
Narasi Kartini mulai dianyam dengan canggih menyusul penerbitan surat-surat Kartini yang diterbitkan oleh JH Abendanon pada 1911. Surat-surat itu diterbitkan di Belanda di bawah judul “Door Duisternis Tot Licht”.
BACA JUGA: Serial Kontroversial: Kartini Bukan Pahlawan (1)
Buku itu dengan cepat direspons oleh publik, mula-mula publik di Belanda lalu merembet ke publik di Hindia-Belanda. Ulasan atas buku itu banyak ditulis di surat kabar di Belanda, iklan-iklan tentang buku itu tersebar di banyak surat kabar. Saya menemukan sepucuk iklan yang menjual buku Kartini di surat kabar De Tijd (The Times) pada Juni 1911.
Respons positif atas penerbitan buku itu bisa dirangkum dalam kalimat: “Lihatlah, kami orang Belanda juga bisa lahirkan pribadi pintar dan tercerahkan”. Belanda memang berkepentingan memunculkan pribadi maju dari negeri jajahan demi kepentingan kampanye politik etis mereka, untuk membuktikan bahwa pemerintah kolonial mereka tidak kalah dengan Inggris di India dalam hal memajukan rakyat terjajah.
Itulah sebabnya, 2 tahun dari penerbitan surat-surat Kartini, orang-orang Belanda yang sedang giat-giatnya mempromosikan gerakan memajukan rakyat terjajah melalui pendidikan segera membuat Yayasan Kartini yang salah satu project-nya adalah mendirikan sekolah Kartini di Semarang. Dan peristiwa itu diliput secara besar-besaran oleh surat kabar bergengsi di Belanda.
Saya menemukan arsip surat kabar Der Leeuwarder Courant (surat kabar yang terbit sejak 1752) menurunkan laporan tentang Sekolah Kartini pada edisi Minggu yang terbit pada 21 Juli 1913. Tak tanggung-tanggung, laporan berjudul “Kartini Scholen” itu nyaris memakan satu halaman penuh – dan itu diterbitkan di halaman muka. Di sana dituliskan betapa Yayasan Kartini akan menjadi organisasi menyebar di seluruh negeri untuk memajukan pendidikan di negeri terjajah.
Sejak itulah Kartini sebagai narasi mulai mencuat. Buku surat-surat Kartini diterbitkan terus menerus dan juga terus diperbincangkan. Yayasan Kartini di Belanda bekerja dengan bagus untuk mempopulerkan narasi tentang Kartini ini.
Dan “wabah narasi Kartini” pun dengan cepat menyebar ke Hindia Belanda, tanah kelahiran Kartini. Saya menemukan secarik iklan di surat kabar De Sumatra Post edisi 28 Januari 1914 yang berisi promosi berbagai jenis kalender. Salah satu kalender yang dijual adalah “Raden Kartini Kalender” yang dijual seharga 1.75 gulden.
Jadi, jauh sebelum artis-artis cantik nan molek (kadang dalam pose seksi di atas motor/mobil) dijadikan model kalender seperti yang sering kita lihat di zaman sekarang, Kartini sudah lebih dulu muncul dalam kalender.
Iklan ini jelas menunjukan narasi Kartini sudah hadir bukan hanya secara tekstual, melainkan juga visual. Soal kalender Kartini inilah yang luput dari penelitian Petra Mahy, peneliti dari Monash University yang melacak narasi Kartini dalam media cetak. Narasi Kartini secara visual sudah ada sejak 1914.
Dan itu terus berlanjut. Pada parade perayaan 50 tahun Ratu Wilhelmina, organisasi pemuda Jong Java menampilkan episode Kartini di sebuah truk/gerobak besar dengan Sujatin Kartowijono [aktivis perempuan yang kelak ikut menginisiasi Kongres Perempuan pertama] memerankan sosok Kartini. Sujatin saat itu mengenakan kebaya dan sanggul, seperti potret Kartini yang kita kenal sekarang, dan itulah barangkali awal mula citra Kartini sebagai perempuan Jawa dimulai secara visual. Sejak itu, dalam semua perayaan mengenang Kartini di tahun-tahun berikutnya, potret besar Kartini yang berkebaya dan bersanggul tak pernah absen dipajang.
Narasi Kartini semakin kokoh dalam tatanan sosial pada 1929. Tahun itu tepat 50 tahun kelahiran Kartini. Dan untuk merayakannya banyak sekali acara mengenang Kartini. Di Sekolah Perempuan van Deventer di Solo, acara itu dihadiri oleh banyak pejabat penting. Di Purworejo, seperti dilaporkan surat kabar Bataviasch Nieuwhblad edisi 16 April 1929, organisasi Wanito Oetomo menggelar acara mengenang 50 tahun Kartini. Salah satu acaranya adalah dengan mengheningkan cipta selama semenit.
Perayaan 60 tahun Kartini pada 1939 juga dirayakan, kali ini bahkan di luar Jawa. Organisasi Kaoetamaan Istri di Medan menggelar acara yang sama. Seperti ditunjukkan Petra Mahy, organisasi Kaoetamaan Istri bahkan menerbitkan majalah edisi khusus yang membahas Kartini dan mengklaim bahwa perayaan Hari Kartini sudah dirayakan di mana-mana.
Surat kabar De Indische Courant pada edisi 25 April 1939 menurunkan laporan berjudul “Kartini Herdenking” (Perayaan Kartini). Perayaan 60 tahun Kartini disebut-sebut disokong oleh pemerintah kolonial dengan gegap gempita.
Kilas balik kemunculan dan penahbisan Kartini sebagai narasi yang saya lakukan ini bisa menjelaskan bagaimana Kartini adalah “enak kesayangan semua orang” bahkan sejak era kolonial Belanda.
Parafrase “anak kesayangan semua orang” ini perlu digarisbawahi untuk menegaskan kekhususan posisi Kartini dalam historiografi Indonesia.
Kenapa? Karena setelah Indonesia merdeka, narasi ketokohan Kartini yang dibikin Belanda ini tidak dihapuskan oleh para intelektual Indonesia. Tidak banyak sosok yang dipuji dan disokong sedemikian rupa oleh pemerintah kolonial dan pemerintah Indonesia merdeka sekaligus.
Padahal, salah satu fase penting dalam perkembangan ilmu sejarah di Indonesia adalah proyek nasionalisasi historiografi. Dalam proyek ini, dekonstruksi terhadap sejarah Hindia Belanda dilakukan. Apa yang dulu dalam sejarah kolonial dianggap sebagai pengacau dan perusuh [sebut saja Diponegoro], dalam proyek nasionalisasi historiografi ini diputar-balikkan sedemikian rupa menjadi para pahlawan penuh jasa dan sarat pahala.
Pada Kartini ini berbeda. Kartini tetap diperlakukan secara hormat walau pun semua tahu narasi Kartini ini juga dimanfaatkan oleh pemerintah kolonial dalam kampanye keberhasilan politik etis mereka.
Yang dilakukan oleh para intelektual Indonesia pasca-kolonial bukan menghapuskan narasi Kartini, tapi mengambilalihnya, lantas memodifikasi sedemikiran rupa dan ujung-ujungnya sama: Kartini semakin kokoh sebagai narasi.
Tapi bagaimana modifikasi terhadap Kartini sebagai narasi ini dilakukan di masa pasca-kolonial adalah pokok soal berbeda yang akan diuraikan dalam artikel berikutnya. ***Berikutnya: Serial Kontroversial: Kartini "Bikinan" Belanda (3)
0 Komentar