Business

Ada Surga di Topi Abu Nawas






ALKISAH, Abu Nawas sedang berjalan di tengah pasar.
Dia melihat ke dalam topinya dan tersenyum penuh bahagia. 
Orang-orang pun heran, lalu bertanya; 

"Hai Abu Nawas apa yang kamu lihat ke dalam topimu itu yang membuatmu tersenyum bahagia?”

Abunawas menjawab, “Aku sedang melihat surga yang dihiasi barisan bidadari-bidadari yang cantik nan menawan." Nadanya meyakinkan. 

Seseorang bekata, "Coba aku lihat.” 

"Tapi saya tidakk yakin kamu bisa melihat seperti apa yang saya lihat,” kata Abu Nawas.

Orang-orang itu heran.

“Mengapa....?" tanya mereka serempak, karena sama-sama semakin penasaran.    

Abunawas menjelaskan, “Karena hanya orang yang  beriman saja dan sholeh yang bisa melihat surga dan bidadarinya di topi saya ini."

Seseorang ingin tahu, "Coba aku lihat."

“Silakan,” ujar Abu Nawas.

Orang itu pun melihat ke dalam topi, lalu sejenak menatap ke arah Abu Nawas, kemudian menengok ke orang-orang di sekelilingnya dan berkata, " Benar aku melihat surga dan bidadari. Luar biasa."  

Orang-orang pun heboh ingin menyaksikan surga dan bidadari di dalam topi Abu Nawas, tetapi Abu Nawas mewanti-wanti, bahwa hanya orang-orang yang beriman dan sholeh saja yang bisa melihatnya.
 


Dari sekian banyak yang melihat ke dalam topi itu banyak yang mengaku melihat surga dan bidadari tetapi banyak juga yang tidak bisa melihat sama sekali.
Mereka yang tidak bisa melihat berkesimpulan "Abu Nawas telah berbohong". 

Mereka pun melaporkan Abu Nawas kepada raja, dengan tuduhan telah menebarkan isu kebohongan di tengah-tengah masyarakat.

Akhirnya, Abu Nawas dipanggil menghadap raja untuk diadili. 

Dalam Sidang Pengadilan Raja.

Raja bertanya pada Abu Nawas, "Benarkah di dalam topimu bisa terlihat surga dengan bidadarinya?”

"Benar paduka Raja, tetapi hanya orang yang beriman saja dan sholeh  yang bisa melihatnya. Sementara yang tidak bisa melihatnya, berarti dia belum beriman dan tidak sholeh. 
Kalau paduka Raja mau menyaksikannya sendiri, silahkan..,” ucap Abu Nawas cuek.

"Baiklah, kalau begitu saya mau menyaksikannya sendiri," kata Raja.

Sudah pasti raja tidak melihat surga apalagi bidadari di dalam topi Abu Nawas. 

Raja berpikir, jika ia mengatakan tidak melihat surga dan bidadari, berarti ia termasuk tidak beriman, maka akan berakibat bisa merusak reputasinya sebagai raja.

Raja setengah berteriak dan pura-pura kagum berucap, “Engkau benar Abu Nawas, aku menyaksikan surga dan bidadari di dalam topimu..!!!"

 Maka Rakyat yang menyaksikan reaksi rajanya itu, lalu diam seribu bahasa dan tak ada lagi yang berani membantah Abu Nawas.  Mereka takut berbeda dengan raja dan khawatir dicap belum beriman dan tidak sholeh.

Konspirasi kebohongan yang ditebar oleh Abu Nawas, mendapat legitimasi dari Raja.

Abunawas dalam hati tertawa sinis sambil bergumam, "
beginilah akibatnya kalau ketakutan sudah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan pun akan merajalela.

Ketika keberanian lenyap dan ketakutan telah menenggelamkan kejujuran, maka kebohongan akan melenggang kangkung sebagai sesuatu yang “benar.”

Ketakutan untuk berbicara jujur, juga karena faktor gengsi. 
Gengsi dianggap belum beriman atau dengan alibi/alasan lainnya. 
Padahal, label gengsi itu hanyalah rekayasa opini publik yang dipenuhi dengan kebohongan.

Kepercayaan diri sebagai pribadi yang mandiri untuk berkomitmen pada kebenaran berdasarkan prinsip kejujuran telah dirontokkan oleh kekhawatiran label status yang sesungguhnya sangat subyektif dan semu.

Kecerdikan konspirasi (kebohongan) opini publik Abu Nawas, telah menumbangkan kebenaran dan kejujuran.

Akhirnya, kecerdasan tanpa kejujuran dan keberanian, takluk di bawah kecerdikan yang dilakonkan dengan penuh keberanian dan kepercayaan diri meski pun itu adalah kebohongan yang besar dan nyata.

Kasus legitimasi kebohongan versi Abu Nawas ini, telah terjadi di sekitar kita.  Tentu dengan aneka versinya. 

Bagaimana dengan kondisi kita saat ini dan kemarin, hari ini dan esok lusa?  Hanya kita yang dapat mengubah nasib dan sikap kita ini.
Post Navi

0 Komentar