Business

Serial Kontroversial: Kartini Bukan Pahlawan (1)



Serial esai tentang RA Kartini ditulis oleh kolomnis tetap laman newsroom Yahoo! Indonesia. Kemudian diposting ulang di kurangpiknik.tumblr.com dengan judul Serial Kontroversial Kartini. EnimaNews kebali menghadirkan untuk Anda dalam empat seri. Selamat membaca.

RA Kartini adalah pahlawan nasional no. 23. Dia juga bukan pahlawan nasional perempuan yang pertama. Posisi Kartini dalam daftar urutan pahlawan nasional setelah nama Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia, dua pejuang Aceh yang angkat senjata melawan pendudukan Belanda. Pahlawan nasional nomer 1 ditempati Abdoel Moeis, seorang lelaki-pengarang (alias bukan pejuang di medan perang) dari Sumatera (alias non-Jawa).
Kartini secara resmi ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Keputusan Presiden (Kepres) No. 106 Tahun 1964. Ada tiga nama yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Kepres yang ditandatangani Presiden Sukarno itu. Tiga nama itu secara berturut-turut adalah Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meuthia dan Kartini.
Sebelumnya, sudah ada 20 pahlawan nasional yang semuanya laki-laki. Komposisi atribusi 20 pahlawan nasional itu adalah: 11 orang Jawa, 2 orang Sunda, 1 Betawi, 2 Batak, 1 Minahasa, 3 Melayu, 1 orang Indo (Douwes Dekker). Mayoritas di antaranya Muslim, sisanya Katolik dan Kristen, dan 1 atheis (Tan Malaka).
Saya sengaja membuka tulisan ini dengan paragraf yang berisi tetek bengek nomer urut dan atribusi itu (perempuan, pengarang, pejuang yang angkat senjata, Sumatera, non-Jawa). Alasannya sederhana: diskursus kepahlawan nasional di Indonesia memang seringkali diimbuhi oleh tetek-bengek atribusi macam itu. Dan Kartini tepat untuk dijadikan contoh mengenai pokok persoalan satu ini.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, sebelum Kartini, Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia ditetapkan sebagai pahlawan nasional, daftar pahlawan nasional semuanya berisi laki-laki. Dan itulah sebabnya saat itu Sukarno dikritik sekaligus didesak untuk sesegera mungkin mengangkat perempuan sebagai pahlawan nasional.
Salah satu yang mendesak agar Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional adalah Gerwani, organ perempuan di lingkungan PKI. 3 tahun sebelum Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional, Gerwani bahkan sudah menerbitkan sebuah majalah perempuan yang dinamai “Api Kartini”.
Pertanyaannya: kenapa harus ada perempuan dalam daftar pahlawan nasional? Sebagaimana kenapa harus ada Batak dalam daftar tersebut? Memangnya kenapa kalau tidak ada perempuan atau Batak dalam daftar itu?
Ya, Batak juga perlu disebut dalam pokok soal satu ini. Orang Batak pertama yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional adalah Sisingamangaraja XII. Pahlawan berjuluk Patuan Bosar Ompu Pulo Batu ini menempati nomer urut 8 dalam daftar pahlawan nasional. Dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional melalui Kepres No. 590 Tahun 1961 setelah Sukarno mendengar aspirasi yang mempertanyakan kenapa tidak ada orang Batak yang jadi pahlawan nasional [lih. liputan Eka Kurniawan mengenai Augustin Sibarani, orang yang melukis wajah Sisingamangaraja XII, di majalah Pantau edisi Februari 2002].
Itu semua terjadi di masa kepemimpinan Soekarno. Kini, proses serupa nyaris menjadi baku, dan itu disebabkan karena prosedur penetapan pahlawan nasional memungkinkan itu terjadi. Seseorang bisa ditetapkan sebagai pahlawan nasional setelah melewati berbagai tahapan, salah satu tahapan awalnya adalah usulan dari masyarakat. Hampir semua usulan itu akhirnya datang dari mereka yang merasa diwakili oleh sang-calon pahlawan [baik itu diwakili secara kesukuan, kedaerahan dan –tentu saja– kekeluargaan].
Di sinilah letak ironinya: kepahlawanan nasional, yang mestinya berporoskan nilai nasionalisme, justru prosesnya seringkali dimulai oleh perayaan regionalisme, provinsialisme, etnisitas, atau bahkan – dalam kasus Kartini, Cut Nyak Dien dan Cut Meuthia– soal jenis kelamin.
Kartini lagi-lagi menjadi persimpangan yang menarik. Jika penetapannya sebagai pahlawan nasional dipicu oleh gugatan yang bersifat segmentatif [kenapa tidak ada pahlawan nasional perempuan], maka setelah ditetapkan sebagai pahlawan nasional Kartini dipersoalkan dengan argumentasi yang tidak kalah segmentatif [membawa-bawa regionalisme]: dia orang Jawa dan kepahlawanannya adalah sebentuk jawanisasi.
Persoalan menjadi lebih “rumit” karena tidak ada pahlawan nasional lainnya yang hari kelahirannya ditetapkan oleh negara sebagai hari khusus. Bukan hanya tidak ada Hari Cut Nyak Dien atau Hari Christina Tiahahu, tapi bahkan tidak ada Hari Sukarno, Hari Hatta apalagi Hari Tan Malaka yang ateis dan komunis.
Apa boleh bikin, Kartini memang sudah telanjur menjadi “kanvas” yang di berbagai zaman dan oleh berbagai kalangan pernah dan akan terus dicoreti oleh pelbagai tafsir, kepentingan, sampai gugatan - pendeknya Kartini sebagai objek. Dan sebagai objek, Kartini diposisikan dan dipahami secara berbeda, dari mulai kalangan etisi di masa kolonial, orang-orang kiri di masa Demokrasi Terpimpin, para teknokrat-birokrat di era Orde Baru sampai para pengritik yang mendasari kritiknya dengan visi desentralisasi seperti yang terlihat pasca-reformasi sekarang ini.
Dan Kartini tak bisa melawan coretan-coretan yang dibubuhkan pada riwayat hidupnya itu. Dan itulah sebabnya, dalam statusnya sebagai pahlawan, Kartini sebenarnya mengelamai “penderitaan”.
Kartini, sebagaimana para pahlawan nasional lainnya, mengalami “penderitaan” dibingkai, dibakukan sekaligus dibukukan – pendeknya “dikanonisasi”.
Surat Edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial (Depsos) No.281/PS/X/2006 memuat beberapa kriteria yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk bisa ditahbiskan sebagai pahlawan nasional. Di antaranya: perjuangannya konsisten, mempunyai semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang tinggi, berskala nasional serta sepanjang hidupnya tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan sang tokoh sudah meninggal. Sepanjang proses itulah para kandidat pahlawan nasional diperiksa, diteliti, diselidiki: pendeknya dipilih, dipilah, diselidiki “secara klinis” untuk memastikan tidak ada virus, bakteri, cela dan dosa yang terlalu signifikan untuk diabaikan.
Tapi itu saja tak cukup. Begitu seseorang ditetapkan sebagai pahlawan, dilakukanlah penambahan elemen-elemen yang dianggap bisa memperkokoh kekuatan naratifnya. Penambahan elemen itu bisa berupa pemilahan dan penyempurnaan foto atau lukisan si tokoh, mereproduksi serta menyebarkannya melalui banyak medium [terutama buku pelajaran atau biografi ringkas yang disebarkan ke sekolah], hingga ritus-ritus yang diulang pada momen penting dalam kehidupan si tokoh yang relevan untuk ditonjol-unggulkan.
Jika kita cermati gambar wajah para pahlawan nasional, terutama para pahlawan dari era sebelum dikenalnya fotografi, paras mereka rata-rata tampak meyakinkan, seakan tak mengandung keraguan, seringkali memancarkan pamor keagungan. Gambaran auratik adalah bagian dari kanonisasi kepahlawanan nasional yang direproduksi terus menerus itu.
Silakan ketik “RA Kartini” di mesin pencari, maka Anda akan disuguhkan ribuan foto Kartini yang berdaya auratik itu. Itulah Kartini yang yang telah dikanonisasi, Kartini semata-mata sebagai objek. Padahal, jika membaca surat-surat Kartini dengan lebih peka, dengan mudah anda akan menemukan banyak keraguan, kebimbangan, kekalahan dan penderitaan – dan Kartini memang wafat dalam situasi tragis seperti itu.
Pertanyaannya: masih bisakah memandang Kartini sebagai subjek?
Saya kira itu masih dimungkinkan jika bisa melepaskan selubung kepahlawanan yang melekat pada dirinya. Selama dibicarakan dalam selubung kepahlawanannya, selama itu pula Kartini akan terus menjadi objek, bahkan kendati posisi Anda sedang mengritiknya sekalipun. Karena membela atau menggugat kepahlanawan Kartini sebenarnya berangkat dari posisi yang serupa:  memperlakukan Kartini sebagai objek.
Maka tak ada salahnya saya bilang: Kartini bukanlah pahlawan, dia manusia biasa saja. Mudah-mudahan ini adalah sikap paling adil yang bisa saya berikan padanya. ***

Sumber: AyoPiknik!

Post Navi

0 Komentar